Pemerintah Presiden Terpilih Prabowo Subianto akan memanfaatkan badan atau kementerian penerimaan negara untuk mencari sumber pendapatan baru. Salah satu sumber itu di antaranya ialah pajak atas harta kekayaan crazy rich atau orang super kaya.
Ketua Dewan Pakar TKN Prabowo-Gibran Burhanuddin Abdullah sempat mengatakan bahwa desain APBN 2025 sebetulnya kurang memberi ruang untuk melakukan percepatan pembangunan Indonesia. Maka perlu unit khusus untuk memperdalam sumber pendapatan negara
“Mungkin kita bisa lihat waktu kementerian penerimaan negara terjadi saya ingin ada di sana satu sel yang khususkan diri bagaimana perdalam masalah keuangan kita,” ucap alam UOB Economic Outlook 2024, di Hotel Kempinski, Jakarta, dikutip Jumat (27/9/2024).
Dari sisi pajak terhadap harta orang super kaya atau wealth tax, sebetulnya bisa memberikan tambahan cuan bagi negara. Pengenaan pajak 2% terhadap harta 50 orang terkaya di Indonesia saja bisa menghasilkan penerimaan negara Rp 81,56 triliun.
Angka itu merupakan hasil penghitungan Tim peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios) dalam “Laporan Ketimpangan Ekonomi di Indonesia 2024: Pesawat Jet untuk Si Kaya, Sepeda untuk Si Miskin”.
Basis perhitungannya ialah akumulasi kekayaan 50 triliuner Indonesia versi Forbes 2023 sebesar US$ 251,73 miliar atau senilai Rp 4.078 Triliun (kurs dollar US$1 sama dengan Rp 16.200) yang dikenakan pajak 2% sesuai rekomendasi G20.
Pakar pajak yang juga pendiri Botax Consulting, Raden Agus Suparman mengatakan, pengenaan pajak atas harta kekayaan itu bukanlah hal yang tidak mungkin dilakukan pemerintah, karena fungsi pajak salah satunya adalah redistribusi kekayaan dari orang kaya kepada orang miskin.
“Dengan pajak kekayaan, maka pemerintah akan mengambil sebagian harta orang superkaya kepada orang miskin dalam bentuk subsidi di APBN. Hanya saja, pajak kekayaan ini merupakan pajak baru. Bukan Pajak Penghasilan (PPh),” ucap Agus kepada CNBC Indonesia.
Beberapa negara sebetulnya sudah menerapkan pengenaan pajak kekayaan ini, seperti Norwegia, Spanyol, Swiss, Prancis, dan Italia. Bagi Indonesia, Agus mengatakan, penerapaannya harus diawali dengan pembentukan RUU Pajak Kekayaan karena jenis pajak itu baru dikenal Indonesia.
Bila pemerintahan Prabowo berani merealisasikan pemungutan pajak kekayaan, Agus menganggap pasti ada resistansi dari para orang superkaya. Kekayaan yang selama ini tidak dikenai pajak, tiba-tiba dikenai. Apalagi, saat mendapatkan penghasilan mereka juga harus membayar PPh. Begitu penghasilan dibelanjakan dalam bentuk kekayaan, juga masih dikenai pajak.
“Namun, jika Prabowo sendiri yang menginginkan, maka pasti beliau akan langsung menjelaskan pentingnya Pajak Kekayaan. Selain itu, keluarga beliau pun pasti termasuk subjek pajak dari Pajak Kekayaan. Inilah keistimewaan Prabowo dibandingkan presiden sebelumnya. Jadi, pemerintahan Prabowo adalah mementum terbaik untuk pengenaan Pajak Kekayaan,” ujar Agus.
Agus memastikan, pengenaan Pajak Kekayaan ini sudah pasti Pajak Kekayaan akan menambah penerimaan negara. Hanya saja berapa penerimaan yang diharapkan, itu tergantung pada tarif yang akan dikenakan dan batasan kekayaan yang dikenai Pajak Kekayaan.
Pajak kekayaan juga ia tekankan harus menyasar wajib pajak yang memiliki kekayaan sangat besar. Ia berpendapat batasan kekayaan Rp 1 triliun yang dikenakan wealth tax cukup adil, dan di Indonesia sangat banyak yang memiliki total kekayaan Rp1 triliun ke atas.
Agus turut mengingatkan, pajak kekayaan bisa dikenakan atas kekayaan yang disimpan di dalam negeri dan di luar negeri. Pertukaran informasi keuangan antar otoritas pajak akan menjaring semua kekayaan Wajib Pajak baik yang berada di dalam negeri maupun luar negeri.
“Sehingga pertimbangan investor tetap kepada investasi di perusahaan. Menurut saya, investor tidak akan meninggalkan Indonesia hanya gara-gara Pajak Kekayaan,” tegas Raden Agus.