Pada tanggal 30 November 2024, Energy Law Institute (ELI) bekerja sama dengan Asosiasi Praktisi Hukum Migas dan Energi Terbarukan (APHMET) menyelenggarakan seminar daring terbuka untuk publik dengan tema: “Economic Analysis dalam Hukum dan Kebijakan di Bidang Investasi dan Energi”.
Penulis bersama Saudara Reghi Perdana (seorang ahli/praktisi hukum yang sangat berpengalaman dalam proyek-proyek public private partnership) diminta sebagai narasumber. Tema itulah yang mengilhami artikel penulis kali ini karena sebelumnya pada tanggal 19 November 2024 yang lalu, Hukum Online juga menyenggarakan roundtable dinner discussion yang setarikan nafas dengan subtansi artikel ini, yaitu dengan tema “Business and Regulatory Outlook 2025: Navigating Energy Security to Achieve Business Sustainability” dan lagi-lagi kebetulan saya diminta sebagai narasumber bersama Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM (yang mendadak batal hadir dan mewakilkan kepada bagian hukum dari ditjen tersebut.
Satu hal lagi bila para pembaca yang budiman masih ingat, pada tanggal 11 November 2024 saya pernah menulis artikel pada media ini dengan judul “Manfaat Keanggotaan RI Dalam BRICS & Jurus Ketahanan Energi Nasional” yang di luar dugaan saya mendapatkan banyak respons dari pejabat, praktisi dan pengamat di bidang hubungan luar negeri, hukum internasional serta tentunya energi. Tulisan saya kali ini boleh dibilang merupakan lanjutan dari artikel tersebut.
Sebelum membahas hal-hal yang substantif terlebih dahulu kita perlu menyamakan persepsi kita tentang Economic Analysis of Law (EAL). Menurut International Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences, 2001, “Economic analysis of law is concerned with (a) determination of the effects of legal rules and (b) evaluation of the desirability of the effects of legal rules, with respect to well-specified definitions of social welfare“.
Sehingga berdasarkan definisi ini EAL itu meliputi kajian tentang aspek dan dampak ekonomi dari suatu hukum dan kebijakan yang dibuat, serta pengaruhnya terhadap kesejahteraan masyarakat luas. EAL didasari pada asumsi tentang moralitas dan rasionalitas manusia sehingga EAL ini berdiri di atas tiga konsep dasar, yaitu nilai (value), kegunaan (utility), dan efisiensi (efficiency).
Hal ini kongruen dengan yang dikatakan Gustav Radbruch dalam teorinya tentang tujuan hukum yaitu keadilan (justice), kemanfaatan (utility) dan kepastian (certainty). Keadilan adalah soal nilai, kemanfaatan dan kegunaan adalah hal yang identik, sedangkan kepastian adalah bentuk dari efisiensi.
Dalam artikel dan dalam forum-forum yang sebut di atas, saya merujuk pada hasil kajian Mackenzie yang dirilis bulan Oktober tahun 2024 yang berjudul “Prabowo’s First 100 Days: Energy Priorities for Indonesia’s New President”.
Mackenzie menggambarkan bahwa sampai dengan tahun 2050 nanti ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil (batubara, minyak dan gas bumi) masih sangat dominan (sekitar 70%) dari total proyeksi kebutuhan energi Indonesia menyongsong Indonesia Emas, di mana diramalkan Indonesia akan masuk dalam lima besar negara berperekonomian terbesar di dunia.
Sementara itu, Presiden Prabowo Subianto secara definitif memiliki masa jabatan sampai tahun 2029. Beliau mewarisi komitmen Nationally Determined Contribution (NDC) 2030 dari Presiden Joko Widodo untuk mengurangi karbon sampai 29% dengan upaya Indonesia sendiri atau 41% dengan dukungan internasional.
Artinya bila NDC ini tetap dipegang teguh maka Indonesia harus mengendalikan karbon yang dihasilkan oleh batubara, minyak dan gas bumi bahkan dari bioenergi yang pemakaian energinya untuk bahan bakar sebab tanpa pengendalian karbon maka target komitmen NDC mustahil bisa tercapai.
Menghadapi hal ini maka setidaknya dua tantangan besar akan dihadapi, yaitu: (1) bagaimana menyiapkan teknologi dengan segala perangkat serta investasinya untuk mengendalikan karbon hasil dari pemakaian energi fosil dan bio energi? (2) bagaimana menjamin harga energi tetap terjangkau (affordable) oleh masyarakat meskipun sudah dibebani biaya tambahan untuk pengendalian energi? (misalnya melalui Carbon Capture Storage/CCS).
Menurut data yang dihimpun dari berbagai sumber, kontribusi sektor energi untuk industri, transportasi dan rumah tangga merupakan penghasil karbon sekitar 70% dari karbon dilepas di atmosfer, sehingga berbicara tentang pengendalian emisi karbon tanpa berbicara tentang dekarbonisasi di sektor energi hanya akan jadi “omon-omon”.
Namun ketika fokus pada pengendalian karbon di sektor energi dua karang besar sebagaimana disebut di atas siap mengadang, yaitu (1) bagaimana hitungan dan realisasi ekonominya untuk mendapatkan investasi membangun fasiltas energi rendah/tanpa karbon dan (2) bagaimana setelah nanti terbangun harga energinya tidak menjadi beban bagi kehidupan ekonomi pelaku industri dan masyarakat luas.
Pemerintahan Jokowi pernah mencatat bahwa untuk mencapai target NDC di sektor ini dibutuhkan tidak kurang dari Rp 3.500 triliun. Namun belum tercatat berapa kenaikan harga energi pada saat investasi tersebut benar-benar terealisasi.
Di sinilah EAL harus dihadirkan. Sebab dengan EAL pertimbangan rasionalitas akan selalu dikedepankan sehingga alasan keekonomian kegiatan penyediaan energi yang terjangkau dan lebih bersih menjadi faktor yang tidak kalah penting dibandingkan dengan faktor (1) penataan ruang dan lingkungan yang memiliki sustainability orientation maupun faktor (2) kedaulatan dan penerimaan negara yang optimal.
Dengan EAL peraturan perundang-undangan penataan ruang dan lingkungan yang bisa menghambat kepastian dan efisiensi kegiatan penyediaan energi harus diubah/disesuaikan. Dengan EAL manifestasi kedaulatan negara dalam memungut pajak, PNBP dan atau urusan fiskal lainnya yang kontra produktif dengan upaya penyediaan energi yang mencukupi kebutuhan nasional dan lebih bersih harus dihapuskan.
Karena hakekatnya dengan tersedianya energi lebih bersih dengan harga terjangkau bagaimanapun juga pada akhirnya akan membuat tujuan penataan ruang dan lingkungan yang lebih beradab dan bermartabat bagi bangsa juga akan tercapai juga.
Demikian halnya dengan target penerimaan pajak maupun PNBP akan dapat dicapai dengan optimal bila ketersediaan energi bersih lebih affordable karena tidak terbebani pajak-pajak dan PNBP-PNBP lainnya yang membuat mahal.
Catatan ini bukanlah mengada-ada sebab sudah banyak studi, kajian, laporan dan lain-lain bahwa regulasi di bidang penataan ruang dan lingkungan serta fiskal banyan menjadi hambatan bagi pengembangan industri penyedia energi, oleh karena itu harus ada upaya serius menanganinya.
Energi seperti halnya pangan adalah kebutuhan fundamental bagi kehidupan umat manusia sehingga berdampak yang tentunya berdampak kelestarian alam semesta. Oleh karena itu, maka pemerintah Prabowo harus berani menyelaraskan kepentingan-kepentingan yang bisa menghambat ketahanan energi antara lain (1) Hambatan Perizinan Penataan Ruang dan Lingkungan, (2) Hambatan Fiskal (Pajak dan PNBP) yang selama ini membuat investasi pengusahaan energi tidak menarik harus dikesampingkan.
Salah satu caranya adalah dengan membuat peraturan perundang-undangan berbasis EAL yang bersifat lex specialis, agar perizinan penataan ruang dan lingkungan serta pungutan-pungutan fiskal yang umumnya diberlakukan pada sektor lain tidak dikenakan untuk sektor energi. Bila tidak maka harapan ketahanan energi yang terjangkau dan bersih menyongsong Indonesia Emas akan jadi “omon-omon” belaka.